Senin, 19 Januari 2009

Jalan Radikal Agar Sekolah Murah dan Berkualitas


ANTI hampir saja tidak bisa mengenyam pendidikan. Pasalnya, untuk masuk SD negeri di dekat rumahnya di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, orangtuanya harus merogoh kocek yang dalam. Padahal, sebagai pekerja serabutan,Yanto, ayah Anti hanya berpenghasilan pas-pasan. Untung ada saudara yang berbaik hati mau "menolong". Meski demikian, Yanto tetap harus mengeluarkan uang Rp 500.000. Tak mengherankan bila pagi itu, Yanto kelabakan mencari uang, mengutang ke sana kemari. Buat apa? "Ya buat menyekolahkan Anti," sahut Yanto. Lho, katanya sekolah negeri. Logikanya, untuk masuk sekolah negeri, kalaupun harus membayar, tentu tidak mahal. Artinya, pendidikan sudah murah. "Siapa bilang pendidikan murah? Ah... ndobos!" sergah Yanto yang asal Yogyakarta ini.(kompas 5 agustus 2006)

Ilustrasi diatas adalah contoh jeritan orang tua ketika dia harus menghadapi kenyataan pahit mahalnya pendidikan di negeri ini. Memang hanya satu contoh tapi penulis yakin sudah cukup mewakili dari ribuan bahkan jutaan rakyat Indonesia yang mengalami hal yang sama. Yah pendidikan benar-benar menjadi ”barang” mewah.”barang” mewah karena pendidikan hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu saja. Tentunya kita sering mendengar dari berbagai media baik cetak maupun elektronik keluhan-keluhan orang tua tentang dunia pendidikan di negeri ini,seperti ilustrasi diatas.
Seharusnya sebuah sekolah dapat murah, lagi pula sekolah didirikan bukan hanya sebagai tempat belajar. Di sana seorang anak tumbuh dengan keriangan dan kegembiraan. Memulai dan mengakhiri pelajaran dengan tanda lonceng. Mengawali dan menjalani pelajaran lewat buku yang selalu terbuka untuk ditelaah. Di temani seorang guru, sekolah seperti perjalanan yang sudah diatur dengan tertib. Tapi kedisiplinan sekolah bukan tanpa cacat. Aturan itu membuat semua orang menjadi seragam dan diam. Seharusnya anak di dorong agar berdisiplin tetapi tetap aktif. Dengan begini seharusnya anak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Tugas pendidik adalah berusaha agar anak jangan mendapat gagasan rancu bahwa baik sama dengan diam saja dan buruk itu sama dengan aktif bergerak.
Sebuah sekolah memang seharusnya bukan seperti penjara. Guru bukan sipir, yang berdiri disamping murid untuk berjaga. Waktu penulis menjadi anak taman kanak-kanak Guru mirip sosok seorang ibu. Ia mengajari penulis menyanyi, berdoa dan mengaji, dan menemani penilis jalan-jalan. Ia adalah makhluk terlincah yang pernah penilis lihat. Tawanya selalu bertebaran, seolah tidak memiki rasa sedih. Bagi saya guru itu manusia terindah yang mengenalkan saya pada huruf dan warna. Berkat guru saya jadi tau mengapa hujan turun. Darinya kemudian saya kenal bahwa kehidupan bukan seperti batang pohon, melainkan mirip liukan ombak dilaut. Saya kerapkali tidak percaya bahwa kehidupan mereka sebenarnya tidaklah terlalu indah. Saya mendengar gaji mereka sangatlah kecil.
Persoalan pendidikan memang sangat rumit, selain mahalnya ongkos pendidikan, guru dan dosen yang kurang sejahtera, hingga tudingan sekolah yang hanya menghasilkan penganggur saja. Permasalahan ini haruslah menjadi perhatian yang serius dari semua pihak. Jelas apabila kita menginginkan negeri ini maju, bukan hanya sektor ekonomi yang harus digalakkan, tetapi bidang pendidikan haruslah menjadi perhatian yang serius. Pendidikan adalah sarat mutlak untuk peradaban sebuah bangsa. Pendidikan haruslah menjadi sistem pengkaderan bagi generasi bangsa. Di sini haruslah bermunculan tunas-tunas bangsa yang potensial guna melanjutkan tongkat estafet pembangunan di negeri ini.
Lantas bagaimana hal tersebut bisa terjadi apabila sekolah menjadi sangat mahal?. Sekolah mahal selain mempersempit kesempatan belajar bagi seluruh anak negeri ini, juga akan melahirkan orang-orang yang bermental kapitalis. Logikanya sederhana apabila misalkan seseorang untuk masuk ke fakultas kodokteran harus mengeluarkan ratusan juta rupiah bisa jadi setelah lulus dia akan berusaha ”memanfaatkan” profesi dokternya agar segera balik modal. Kemudian apabila seperti ini, dari mana kita dapat memiliki dokter-dokter yang hebat dan berjiwa sosial tinggi. Di Zaman sekarang hal seperti ini juga besar kemunginannya terjadi pada profesi-profesi lain seperti, pengacara, ekonom, politikus, dan lain sebagainya. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah apabila sebenarnya banyak sekali anak-anak bangsa yang berbakat dan berpotensi menjadi pemimpin besar, tetapi tidak dapat mengembangkan bakatnya dan tidak memiliki kesempatan memimpin hanya karena alasan dana.
Padahal apabila kita mengacu pada aturan normatif di negeri ini. Jelas bahwa pendidikan adalah hak segala warga negara tanpa terkecuali dan adalah kewajiban negara untuk membiayainya. Jelasnya ini terangkum dalam pasal 31 Amandemen UUD 1945 Ayat (1) menyatakan, Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan Ayat (2) menyatakan, Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ayat (4),Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Perintah UUD 45 ini diperkuat lagi melalui UU Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang disahkan 11 Juni 2003. Pasal 5 Ayat (1) UU SPN menyebutkan, Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (Pasal 6 Ayat 1), Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi (Pasal 11 Ayat 1), serta Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun (Pasal 11 Ayat 2).
Tapi aturan tinggal aturan, Undang-undang tinggal undang-undang tanpa ada konsistensi aplikasi yang jelas. Anggaran pendidikan 20% dari APBN/APBD yang diamanatkan konstitusi seperti diatas belum juga terpenuhi. Untuk 2007 pemerintah hanya mengalokasikan 11,8 % saja (UU No 18 2007 tentang APBN). Di perparah lagi dengan banyaknya anggaran pendidikan yang ”bocor” karena korupsi birokrasi di negeri ini.
Jebakan Hutang
Memang apabila kita bijak menyikapi persoalan ini, boleh jadi pemerintah memang kesulitan pendanaan untuk memenuhi tuntutan konstitusi diatas. Apalagi dengan jeratan hutang luar negeri yang begitu tinggi. Pada tahun akhir 2007 saldo hutang luar negeri kita di perkirakan akan mencapai US$ 59 milyar lebih atau sekitar RP 531 triliun. Hal ini terkait dengan rencana pemerintah yang akan menarik pinjaman baru sebesar Rp 2,8 triliun untuk membiayai defisit APBN 2007. Dalam 5 tahun kedepan, pokok dan bunga hutang yang harus dibayar Indonesia mencapai Rp 150 triliun.(Majalah Trust, edisi 23-29juli 2007). Beban hutang luar negeri yang begitu besar bisa jadi memang menyulitkan pemerintah untuk mengatasi persoalan-persoalan dasar, seperti pendidikan.

Masalahnya apakah kita akan terus begini ? Boleh dong kita ”bermimpi” suatu saat nanti kita bisa keluar dari jebakan hutang (debt trap). Dalam sejarah memang ada beberapa negara yang berhasil keluar dati jeratan hutang luar negeri. Korea selatan, salah satu contohnya. Bahkan negara yang pada awal pembangunannya di biayai dengan hutang ini mampu mengubah dirinya menjadi negara kreditur karena sukses sebagai eksportir dan memiliki tabungan dalam negeri (gross domestic saving) yang tinggi.

Di bidang ekspor, indonesia sebenarnya tidak buruk-buruk amat. Bahkan, pada tahun 80-90-an ekspor kita jauh lebih baik di bandingkan Malaysia dan Thailand. Lantas mengapa kita justru terjerat dengan hutang? Indonesia memang bukan korea. Di sini kondisi dalam negeri tidak kondusif, watak birokrasi yang kaku, korupsi, dan lain sebagainya. Akibatnya hutang luar negeri tidak dapat menghasilkan return yang positif. Nah sekarang kita harus membayar mahal dari miss-management hutang ini. Jika Indonesia ingin keluar dari jeratan hutang, tentu masalah-masalah diatas harus segera diatasi. Pemberantasan korupsi harus semakin galak. Laju pertumbuhan ekspor nonmigas harus ditingkatkan, serta menggairahkan sumber pendanaan dalam negeri seperti pajak dan pasar modal.

Jalan Radikal.
Di tengah-tengah permasalahan negara yang begitu pelik diatas, lantas masih adakah cara agar pendidikan bisa murah dan berkualitas di negeri ini. Agar pendidikan tidak lagi di batasi oleh sekat-sekat status ekonomi. Dan agar pendidikan mampu membuat seluruh rakyat indonesia tersenyum lebar. Masih adakah caranya kira-kira??. Tentu kita tidak boleh putus asa menyikapi ini semua. Asal kita semua seluruh elemen bangsa berkomitmen kuat untuk menyelesaikan masalah pendidikan ini saya yakin kita bukan tanpa harapan. Alternatif solusi yang perlu kita perjuangkan di antaranya adalah :

Pertama, kita harus memiliki pemimpin bangsa (presiden) yang berkomitmen kuat terhadap pendidikan dan memiliki semangat keperpihakan kepada rakyat kecil. Masalah pendidikan sudah sangat akut, kurang apabila hanya di delegasikan kepada menteri pendidikan dan departemen pendidikan saja. Presiden harus turun langsung, dan masuk kerelung-relung permasalahan rakyat. Dengan komitmen dari presiden seberat apapun alokasi dana 20% untuk pendidikan dari APBN dan APBD insyaAlloh bisa terpenuhi bahkan bisa lebih, Lantas bagaimana apabila ternyata presiden tidak mampu melakukan ini semua, kita harus mengambil logika team sepakbola. Apabila dalam sebuah team sepakbola, ternyata team tersebut bertahun-tahun gagal juara, selalu kalah dan minim prestasi maka mereka akan mengganti pelatih (pemimpin) team tersebut dengan yang lebih mampu. Di sinilah terlihat urgensi kepemimpinan dalam sebuah organisasi apapun bentuknya organisasi tersebut. Kita pun harusnya demikian, apabila presiden tidak memiliki semagat keperpihakan kepada rakyat dan tidak di tunjang dengan aksi-aksi nyata, tidak berlebihan apabila logika team sepakbola tersebut kita pakai.

Kedua melakukan pemotongan gaji untuk pejabat tinggi yang dialokasikan pada dunia pendidikan. Pemotongan gaji ini adalah kebijakan yang secara langsung akan menjadi cerminan komitmen pejabat tinggi terhadap dunia pendidikan. Laporan KPK dalam perhitungan kekayaan pejabat tinggi selalu menunjukan tingginya jumlah pundi-pundi kekayaan yang dimiliki secara pribadi oleh pejabat tinggi. Bisnis yang dimiki oleh banyak pejabat menjadi alasan yang mencukupi untuk memotong pendapatan mereka. Tumpukan kekayaan itu jika dialokasikan 5 persen saja per orang akan sangat membantu dunia pendidikan. Pejabat tinggi ini mulai dari presiden hingga kepala dinas hingga di dalamnya anggota dewan.

Ke tiga menginvestigasi dan menjatuhkan sanksi yang tegas kepada semua pihak yang melakukan korupsi atas anggaran pendidikan. Jumlah dana pendidikan yang dikorupsi harus segera di investigasi dan di kenai sanksi yang berat bagi setiap pelakunya. Ini sekaligus memberikan pelajaran kepada semua pihak agar tidak main-main dalam mengurusi dunia pendidikan. Kapan kita mau maju jika budaya korupsi terus meraja lela dan di lindungi?

Ke empat adalah membuat standar baru tentang kualitas pendidikan yang tidak saja menyentuh kemampuan dan kreativitas siswa melainkan juga ongkos sekolah. Kriteria yang mempersyaratkan kemampuan menampung siswa tidak mampu sekaligus kemampuan untuk mensejahterakan guru. Sekolah tidak lagi di ukur hanya kemampuan dia menghasilkan lulusan yang pintar tetapi bagaimana mengajarkan siswa untuk saling bertanggung jawab, moralis, dan mempunyai solidaritas yang tinggi.

Bisa jadi memang tidak adil apabila masyarakat menuntut agar pemerintah berjuang sendirian untuk mengatasi masalah pendidikan ini. Mengacu pada konsep pendidikan untuk semua (Education for All) yang dicetuskan di Jomtien, Bangkok, Thailand, tahun 1990, pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah, dan masyarakat. Pengertian masyarakat disini jangan hanya di artikan secara pragmatis orang tua peserta didik.Tetapi hendaknya di perluas pada sumber-sumber pendanaan yang lebih memungkinkan, yaitu melibatkan kalangan bisnis (Tony d Widianto). Mereka yang kaya dan masyarakat bisnis yang potensial perlu dilibatkan untuk mengatasi sulitnya mendapatkan dana untuk membangun pendidikan. Salah satu gagasan yang muncul, adalah bukan hanya beasiswa tetapi adanya pajak pendidikan. Pemerintah pusat maupun daerah perlu mendorong para pengusaha dan orang-orang kaya untuk ikut memperhatikan dunia pendidikan Sekian persen keuntungan digunakan untuk membantu pemerintah memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, yaitu pendidikan dan boleh juga kesehatan. Bila pemerintah dapat "mengajak" peran swasta ikut membiayai pendidikan bisa dibayangkan besarnya modal yang dapat di gunakan untuk menambah anggaran pendidikan. Bagi pemerintah pajak pendidikan bagi sektor swasta tentu lebih bijak dari pada mengandalkan peran orang tua peserta didik yang belum tentu semua mampu.
Selanjutnya adalah melibatkan media massa terutama untuk memberi liputan dan sorotan yang tajam lagi berani mengenai komitmen berbagai kalangan terhadap dunia pendidikan.. Media harus menjadi institusi yang selalu mengkampanyekan pentingnya perhatian berbagai kalangan terhadap dunia pendidikan. Bahkan menurut saya sudah saatnya media untuk membuka kotak amal sebagaimana jika ada bencana alam, yang dialokasikan khusus terhadap dunia pendidikan.

”Gerakan sosial” Jangan Mati...!!!
Untuk melaksanakan konsep-konsep di atas tidaklah mudah, Kadang terjadi distorsi yang tidak kecil antara penerjemahan konsep ke hal yang lebih teknis. Lagi pula untuk melakukan itu semua harus diawali oleh seorang pemimpin bangsa yang berani. Dan di ikuti oleh segenap elemen bangsa yang memiliki satu tekat keberpihakan kepada rakyat kecil. Gerakan sosial untuk mengusung pendidikan murah dan berkualitas harus di hidupkan. Guru dan dosen sudah waktunya mempelopori untuk memperjuangkan kepentingannya dan peserta didiknya. Guru, dosen dan orang tua peserta didik akan menjadi kekuatan politik mandiri jika bisa melakukan persekutuan taktis. Guru, dosen dan masyarakat harus merumuskan program pembaharuan sosial melalui terbentuknya sekolah murah. Gerakan ini niscaya akan mendapat dukungan yang massif karena orientasi keperpihakannya yang tegas. Gerakan sosial sekolah murah ini di harapkan dapat melakukan penolakannya pada komersialisasi pendidikan apapun modelnya. Gerakan ini hendaknya juga bisa melakukan advokasi pada guru, dosen, maupun murid yang dirugikan oleh sistem pendidikan. Untuk menaikan kesejahteraannya sudah waktunya guru, dan dosen ikut dalam perjuangan ini. Kisah guru-guru yang tergabung dalam PGRI baik dari jawa timur, jawa tengah, dan jawa barat akhir juni 2007 lalu yang melakukan aksi tuntutan pemenuhan anggaran pendidikan 20% dari APBN dan kesejahteraan guru ke istana negara harus terus di hidupkan. Guru dan dosen sudah saatnya menjadi kekuatan politik yang bergerak memperjuangkan sistem pendidikan yang berpihak kepada rakyat.

Kekuatan gerakan sosial dan suara-suara dari kampuspun harus terus menyala. Suara–suara kritis mahasiswa jangan sampai mati. Gedung lembaga mahasiswa memang telah di pindah dan ”dibikinin” lokasi yang lebih bagus dengan berbagai fasilitas yang mahal dan memadai, tetapi jangan sampai kita terlena dan lantas mengeringkan udara perlawanan terhadap setiap ketidak adilan. Kita harus bersatu padu dan memunculkan kesadaran kritis bersama bahwa komersialisasi pendidikan haruslah kita tentang dan pendidikan murah berkualitas harus kita capai. Ini bukan saja luapan protes tetapi keyakinan. Keyakinan yang harus terus hidup pada setiap jiwa-jiwa yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi dan semangat keberpihakan yang nyata kepada rakyat. Dalam konteks inilah pendidikan bukan semata-mata membentuk manusia yang pintar melainkan juga generasi yang sadar akan realitas sosial dan tidak bebal lingkungan.(InsyaAlloh, Wallau’alam)Prez

Daftar Pustaka :
1)Prasetio, Eko.2006. Orang Miskin Dilarang Sekolah. Jogjakarta: Resist Book.
2)Prasetio, Eko.2006. Islam itu Agama perlawanan. Jogjakarta : Resist Book
3)Suharsih dan Ign Mahendra K .2007. Bergerak Bersama Rakyat ( Sejarah Pergerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial Indonesia). Jojakarta : Resits Book
4)Majalah Trust edisi No 40 tahun V 23-29 juli 2007
5)Kompas, 5 Agustus 2006
6)UUD 45 yang sudah diamandemen.
7)UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
8)UU No 18 Tahun 2007, tentang APBN
Sori ini tulisan aku tulis pada tahun 2007,,So bisa jadi datanya udah out of date,,, tapi pola pikirnya masih fresh kok....Key ??? kasih koment dong>..???

1 komentar:

  1. saya mau memperkenalkan salah satu alternatif pendidikan murah tapi bermutu tinggi dengan Indismart. Indismart adalah media pembelajaran online interaktif untuk pelajar SD hingga SMA. Indismart telah digunakan oleh 17.500 sekolah di Indonesia dan penguna individual lainnya. Kunjungi www indi-smart dot com dan bergabunglah segera

    BalasHapus